Rabu, 10 Juni 2009

BAB V TENTANG KEMATIAN

Masih tersimpan dalam kenanganku ketika emakku bercerita, bahwa betapa girang dan lucunya aku saat ditelanjangi ibu, lalu dimandiin dan dibedakinya. Tapi kenapa hari ini saat aku telah dewasa kenangan itu berulang kembali.Aku ditelanjangi, dimandiin dan dibedaki banyak orang, namun emakku tidak kulihat lagi.Duh, aku hanya bisa diam, badanku kaku bagai patung tidak berdaya sama sekali.Inikah mandi (jenazah) terakhirku.Ya, Allah yang Maha Pengampun kumohon di pemandian terakhirku ini kupinta semoga Kau berkenan membersihkan semua noda dosa yang pernah mengotori jiwaku.Duh,malu dan tidak pantas rasanya aku datang menemuiMu dengan jiwa yang penuh dosa ini.


Awal sekali kita muncul di muka bumi ini lewat rahim ibu, tatkala kita mati, maka kitapun akan dibenamkan ke dalam rahim ibu pertiwi kita.


Duh, di usia yang hampir setengah abad begini ternyata hingga saat ini tidak sejengkal tanahpun pernah kumiliki.Ah…tidak perlu disesali semua itu, toh bukankah tubuh ini sendiri adalah merupakan molekul-molekul gumpalan tanah itu.


Kematian memang tidak sepantasnya kita takuti,karena bukankah kematian itu sendiri sejatinya adalah milik mutlak Yang Maha Hidup?


Jika dipikir-pikir ternyata hidup itu hanyalah sekadar menarik nafas dan menghembuskan nafas saja.Kematian akan kita alami tatkala kita tidak bisa lagi menarik nafas lagi, itu terjadi karena kita telah menghembuskan nafas terakhir dan kita tidak bisa menarik nafas kita kembali.Duh, ternyata nafas itu sendiri ternyata bukan milik kita tetapi milik sang Yang Maha Hidup


“Selamat malam!” Sapaan “selamat malam” itu sebenarnya hanya pantas kita ucapkan ketika pada malam hari dan kegelapan sesaat.Nah, tatkala akhirnya suatu saat kelak kita tinggal di sebuah kegelapan alam kubur yang berkepanjangan, masih bisakah kita selamat dan masih relevankah sapaan selamat malam itu kita diucapkan antar sesama kita?


Apapun alasannya sebenarnya kita tidak perlu takut terjebak dalam sebuah kegelapan.Betapa tidak, bukankah sesungguhnya di dalam kuburan kelak kita akan tinggal di kegelapan yang berkepanjangan?


Siapa pun orangnya, pasti pernah mengalami rasa keterasingan bilamana sekali waktu oleh karena sesuatu hal harus pindah ke suatu ligkungan yang sangat asing dan baru bagi kita.Semua keterasingan tersebut akan hilang dengan sendirinya jika kita pandai beradaptasi dan bersosialisasi dengan komunitas sekitar.Dan lama-kelamaan kita pun akhirnya bisa merasa betah dan akrab dengan masyarakat sekitar.Nah, ketika sekali waktu kita memang harus pindah selama-lamanya ke alam kubur, keterasingan dalam wilayah ini tentu jauh berbeda dengan keterasingan yang selama ini kita rasakan di alam nyata.Kini pertanyaannnya, dapatkah kepandaian beradaptasi dan bersosialisasi tersebut kita andalkan agar kita kelak bisa betah dan akrab tinggal berlama-lama di dalamnya?


Berkali-kali kutepis lalat yang hendak hinggap di wajah, karena jijik dan kotornya makhluk yang satu ini.Tatkala tubuh ini berubah menjadi bangkai dan mengeluarkan aroma busuk yang menyengat, jutaan lalat tersebut datang menyerbu lagi menghinggapi tubuh, namun tidak se ekor lalat pun dapat kutepis.Aku hanya diam tidak bisa berbuat apa-apa.Ketampanan dan kemolekan tubuh yang selama ini kubanggakan akhirnya menjadi bangkai busuk dan santapan cacing tanah belaka.


Kematian adalah milik kita yang sementara tersimpan di Lauhul Mahfudz. Namun betapa sering kita lupa diri dan merasa bahwa kita seolah-olah hidup selamanya, padahal bisa jadi bahwa kematian itu akan menjemput kita satu detik mendatang.


Sekiranya kelak ajalku tiba, tidaklah usah kalian repot-repot membuatkan batu nisan mengelilingi kuburanku, karena dengan demikian seolah-olah aku terpenjara dengan tembok-tembok pembatas tersebut.Biarkanlah dan relakanlah tubuhku ini hancur lebur membaur dengan tanah.Yah…dari tanah kembali ke tanah.


Jangan kamu berkecil hati jika suatu saat kelak terkucil dan terbuang dari keramaian.Dengan kesendirian maka Anda akan lebih banyak waktu berdialog dengan diri sendiri, dan akan mengantarkan Anda akan lebih mengenal diri sendiri dan Tuhan.Lagi pula bukankah kita pada awalnya lahir di dunia sendiri dan kelak akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya juga sendiri.


Bunuh diri terjadi sebenarnya bukan karena mereka berani mati, tapi lebih tepat dikatakan bahwa mereka begitu takut menghadap realita kehidupan.Lagi pula, apa sih untungnya jika kita bunuh diri, bukankah secara proses alamiah cepat atau lambat kita akan mati dengan sendirinya.Karena kehidupan itu sendiri berasal dari Allah maka urusan kematian kita itu adalah merupakan hak mutlaknya Allah.Ketika kita bunuh diri, itu berarti kita terlalu berani dan lancang mencampuri bagian yang sebenarnya urusan Yang Maha Kuasa.Itulah sebabnya tiap kali kita melaksanakan sholat pada saat takbiratul ihram kita diwajibkan membaca lafaz doa: ”Bahwa sesunguhnya hidup dan matiku kuperuntukkan kepada Allah semata.”


Bersyukurlah kepada kebesaran Tuhanmu, jika pagi hari ini kamu masih bisa bangun sebagaimana biasa.Itu berarti kamu masih bisa menikmati hangatnya sinar mentari pagi,lembutnya embun pagi, merdunya kicauan burung pagi hari, bisa bertemu orang-orang yang kamu kasihi dan cintai.Ingat, pada pagi hari ini banyak sekali orang yang tidak bisa menikmati keberkahan itu semua karena ia telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya dan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya dihadapan Khaliknya.


Langkah-langkah kaki terakhir kudengar sayup-sayup, berganti dengan suara menggelagar mengguncang-guncang tubuhku,duh,,,, sedang dimanakah aku kini gerangan berada?Ribuan ulat belatung dan cacing tanah berseliweran di tubuhku.Bau bangkai yang sangat pekat dan menyengat bertebaran dimana-mana , sekitarku dingin seperti tanah! Ya Allah,…..ternyata aku telah jadi mayat terbaring kaku dalam kubur.


Detik-detik yang terlewat dan detik-detik yang berjalan pada hakekatnya semakin mendekatkan kita pada sakratul maut.Sungguh sia-sia jika detik-detik yang tersisa tidak kita manfaatkan untuk lebih mendekatkan kita pada yang Kuasa.Sungguh,Tuhan tidak melarang kita mengumpulkan harta dan gelar sebanyak-banyaknya.Cuma saja jika semua itu hanya membuat jarak kita semakin jauh dengan Nya lebih baik raihlah semua itu sekadarnya saja.Hiduplah yang sedang-sedang dan biasa-biasa saja, jangan terlalu nafsu memaksakan diri dan berlebihan.


Tatkala baginda Zulkarnain yang kaya raya tengah sekarat, beliau berpesan,”Jika aku nanti mati, usunglah mayatku tanpa tutup keranda, ulurkan tanganku menjuntai di kiri dan kananku, agar rakyatku tahu bahwa kekayaan milikku yang selama ini bersamaku tidak akan pernah bisa membantuku dan sedikitpun tidak ada yang menyertaiku.”


Duh, sementara kita sibuk siang malam membanting tulang, sikut menyikut dan saling berlomba mengumpulkan kekayaan dunia yang tidak pernah habis-habisnya.


Ketika orang-orang yang kita kasihi, cintai, sayangi, kagumi telah meninggalkan kita untuk selamanya, saat itu sadari betapa tipisnya perbedaan antara hidup dan mati.Bagai mimpi mereka hilang sirna begitu saja tanpa bekas dan jejak.Yang tertinggal hanyalah kenangan manis ketika mereka bersama kita.Cepat atau lambat kitapun akan hilang sirna tanpa bekas seperti mereka yang kebetulan telah mendahului kita.Peristiwa serupa akan terulang kembali, yang kita tinggalkan hanyalah kenangan manis, itupun jika kebetulan kita memang pernah ada meninggalkan kenangan manis terhadap orang-orang yang dekat dengan kita.Karena itu, sebaiknyalah kita hidup baik-baik saja agar kelak matinya kita pun baik-baik juga.


Makna hakekat mudik sebenarnya adalah sebuah keinginan untuk mewujudkan kembali kenangan kita waktu kecil dahulu, kerinduan berkumpul dengan orang-orang yang kita cintai, kasihi, sayangi; mendengar gemerisik dedaunan, kicauan burung, kokok ayam jago yang saling bersautan, lenguhan sapi, suara jangkrik; mencium semerbak bunga-bungaan, bau aroma khas rerumputan,batang jerami yang baru diarit, asap tungku dapur; mandi di empang, sungai atau pesisir pantai, main bola kaki di lumpur sawah, bergelayutan seperti tarzan di ranting-ranting pohon dan berbagai kerinduan-kerinduan lain yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Bisa jadi inilah kesempatan mudik terakhir kita di hari raya Idul Fitri ini, karena Yang Maha Fitri telah memanggil kita untuk mudik selama-lamanya di pangkuan Nya.Dan berharap Allah Yang Maha Pengampun menyapat kita,”Hai jiwa yang tenang,kembalilah padaKu dan masuklah ke syurgaKu…”


Meski ayah kami tidak pernah duduk di bangku sekolah dan kata orang mantan preman, bandit, penyamun dan buta huruf, namun dalam kenyataannya beliau punya perhatian yang sangat besar terhadap nilai-nilai keagamaan dan soal kematian. Hal itu tercermin dari pesan-pesan beliau setiap kali kami hendak mengkontrak rumah atau membeli rumah baru, maka beliau selalu berpesan pada ibu,”Bu,… jika kita mau beli rumah atau cari rumah kontrakan carilah rumah yang kamar mandinya agak besaran sedikit, siapa tahu ada di antara kita yang meninggal dunia maka orang-orang tidak repot memandikan jenazah kita.Dan jika bisa pilihlah lokasinya yang dekat dengan masjid, agar kita mudah sholat berjemaah.”Pesan ayah tersebut akhirnya memang menjadi kenyataan, tatkala ibu tercinta meninggal dunia--- persis pada saat aku lulus sidang meja hijau---pemandian jenazah ibu hingga sholat jenazahnya cukup dilaksanakan di rumah kami sendiri saja.Dapat dikatakan prosesi permakan jenazah ibu berjalan khidmat dan sederhana.Namun ada suatu kebanggaan tersendiri yang tidak bisa kulupakan di hari berkabungnya ibu kami, banyak tetangga mengatakan bahwa pelayat yang datang bertakziah ke rumah kami agak luar biasa ramainya.Jejeran kendaraan para pelayat yang parkir di sepanjang jalan memang cukup lumayan banyak panjangnya.Kami pun heran kenapa begitu banyak orang melayat mendiang ibu kami sementara yang kami tahu ibu kami hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa atau ibu rumahan.Itu bisa terjadi mungkin karena sifat ibu yang lucu, lugu dan ramah terhadap setiap orang tanpa memandang status, suku, agama dan lain sebagainya.Saking ramahnya beliau terkadang pengemis yang datang sering diajaknya berbincang-bincang ngalur-ngidul hingga berjam-jam sembari diselingi derai tawa dan derai air mata.Yang kami tahu, tidak pernah sekalipun ibu bertengkar dengan para tetangga dan dengan saudara-saudara kandungnya sendiri.Tidak berlebihan jika kakak dan adik-adiknya (ibu bersaudara 9 orang dan beliau urutan ke 6) pernah mengatakan bahwa di antara mereka yang bersaudara sembilan orang hanya dengan ibu seoranglah mereka tidak pernah bertikai atau salah faham satu sama lain, justru ibu selalu didaulat sebagai juru damai jika ada di antara mereka bertikai satu sama lain.Sejak aku kanak-kanak hingga kuliah seingatku rumah kami tidak pernah sepi dari tamu yang menginap berlama-lama di rumah kami, meski rumah kami sebenarnya tidaklah begitu besar.Karena sangat familiarnya ibu terhadap semua orang, ada saja tamu atau sanak famili yang menginap –tanpa dikutip bayaran apapun—hingga berbulan-bulan di rumah kami dengan berbagai latar belakang dan kepentingan yang saling berbeda satu sama lain.Ada kakak sepupu dengan bayinya yang masih merah sekali diusir orang tuanya (kakak ibu) karena menikah dengan suami orang lain; ada saudara sepupu laki-laki yang ingin melamar kerja di kota; ada paman (adiknya ayah) dan istrinya karena kontrakan rumahnya telah habis; ada sepupunya ayah yang ngaku di PHK dan ternyata beliau adalah boronan polisi karena menggelapkan uang kantor,ada teman sekelas kakak yang tidak punya tempat kost; ada famili yang sekedar plesiran; ada kakak sepupu kami yang sengaja dititip orang tuanya karena anaknya terlibat narkoba;ada famili yang sedang berobat jalan;ada yang ingin melamar kerja menjadi pembantu rumah tangga di rumah kami dan rela tidak digaji sama sekali.Silih berganti ada saja sanak famili yang suka berkunjung dan menginap di rumah kami, bisa dibilang rumah kami tidak ubahnya losmen penginapan saja , yang satu pulang yang lain datang lagi.Semua tamu dan famili tersebut diladeni ibu dengan lapang dada tanpa pilih kasih, kami menyatu dengan mereka tanpa ada perbedaan.Pendek kata apa yang kami makan itu pulalah yang mereka makan. Satu kenangan manis yang tidak bisa kulupa tentang emak ialah tentang hobbynya yang suka nyanyi sambil berurai air mata. Terutama sekali ketika ia menyanyikan lagu ini:“Bercucuran air mata bila kuterkenang.Sungguh besar kasih sayang ibunda berikan.”Sering kali Emak melantunkan syair lagu itu dengan berurai air mata sembari memasak, menyapu atau sedang menjahit.”Mak,nyanyi ya nyanyi, tapi jangan pake nangis segalalah, macam anak kecil aja…! ”, ledek kami ke Emak sambil tertawa.Acuh tidak acuh terus saja Emak lantunkan lagu itu hingga bait terakhir sambil berurai air mata dan sesekali sesenggukan.Setelah Emak tiada, kini tiap kali kulantunkan syair lagu itu tidak terasa air mata ini jatuh bercucuran terkenang betapa besarnya kasih sayangnya pada kami. Duh, betapa sedih dan syahdunya lagu itu rupanya, ingin sekali rasanya kudengar lagi emak menyanyikannya buat kami, dan bisa dipastikan kami tidak berani meledek dan menertawakan emak lagi. Sekiranya masa lalu bisa diputar ulang rasanya ingin kurekam suara emak di HP ketika melantunkan lagu itu agar bisa kuputar berulang-ulang sebagai pengobat rindu. Singkat cerita, sepeninggal ibu kesehatan ayah pun akhirnya jauh menurun dari sebelumnya, di masa tuanya beliau kena penyakit komplikasi : diabetis, darah tinggi,dan paru-paru kronis,Karena situasi keuangan semakin menipis dan kritis ayah terlilit hutang dengan seorang rentenir.Rumah yang merupakan harta satu-satunya akhirnya berpindah tangan ke sang rentenir, lalu kami terpaksa pindah ke rumah kontrakan yang sangat sederhana.Lima tahun berselang sesudah ibu meninggal, di suatu subuh dibarengi hujan gerimis ayah yang tadinya hanya sekedar tidur-tiduran di kursi panjang ruang tamu,akhirnya telah terbujur kaku pergi meninggalkan kami untuk selamanya.Prosesi pelaksanaan pemakaman ayah sebenarnya berlangsung khidmat, cuma yang membuat suasana berkabung semakin sedih kami tidak sampai hati melihat jenazah ayah dimandikan di emperan-emperan belakang dapur orang.Terlepas dari semuat itu, aku hanya bisa berdo’a:”Ya Allah, kini satu-satunya orang yang sangat kukagumi,kubanggai dan kucintai telah berpulang ke haribaanMu,Ya Allah, ampunilah dosa dan salahnya betapa pun besarnya.Ya Allah, ia adalah pejuang dan pahlawan sejati kami dan kami sangat bangga dan bersyukur punya sosok ayah seperti dia, tidak peduli aku orang mencapnya dia bandit, preman, buta huruf, dan lain sebagainya, yang kutahu dia teramat menyayangi kami semua. Satu pintaku semoga di kampung akherat kelak kami bisa berkumpul kembali dengan mereka sebagaimana kesederhanaan kami hidup di kampung dahulu.Dan kami bersaudara bisa seperti anak burung lagi saat berebutan makanan waktu emak menyuapi kami makan.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Anda berkomentar dengan objektif.